Macam-Macam Mikropropagasi

Sunday, 29 March 2009


Macam-macam Mikropropagasi

1. Produksi Tanaman dari Tunas-tunas Aksilar.
Produksi tanaman dengan merangsang terbentuknya tunas-tunas aksilar merupakan teknik mikropropagasi yang paling umum dilakukan. Ada 2 metode produksi tunas aksilar yang dilakukan yaitu (1) kultur pucuk (shoot culture atau shoot-tip culture) dan (2) kultur mata tunas (satu mata tunas: single-node culture; lebih dari satu mata tunas: multiple-node culture). Kedua teknik kultur ini berdasarkan pada prinsip perangsangan terbentuknya atau munculnya tunas-tunas samping dengan cara mematahkan dominasi apikal dari meristem apikal.

2. Kultur Pucuk (Shoot Culture atau Shoot-Tip Culture).
Kultur Pucuk (Shoot culture) adalah teknik mikropropagasi yang dilakukan dengan cara mengkulturkan eksplan yang mengandung meristem pucuk (apikal dan lateral) dengan tujuan perangsangan dan perbanyakan tunas-tunas/cabang-cabang aksilar. Tunas-tunas aksilar tersebut selanjutnya diperbanyak melalui prosedur yang sama seperti eksplan awalnya dan selanjutnya diakarkan dan ditumbuhkan dalam kondisi in vivo.


Istilah yang digunakan untuk teknik kultur pucuk ini tergantung dari eksplan yang digunakan. Jika eksplan yang digunakan adalah ujung pucuk-pucuk apikal (panjang ± 20 mm) saja maka tekniknya disebut sebagai “Shoot-tip Culture”, namun bila eksplan yang digunakan adalah ujung pucuk apikal beserta bagian tunas lain dibawahnya disebut debagai “Shoot Culture”. Besar kecilnya eksplan yang digunakan mempengaruhi keberhasilan kultur pucuk. Semakin kecil eksplan, semakin kecil kemungkinannya untuk terkontaminasi oleh mikroorganisme namun semakin kecil juga kemampuannya untuk beregenerasi dan memperbanyak diri. Sebaliknya, semakin besar eksplan yang digunakan maka semakin besar kemampuannya untuk beradaptasi dalam kondisi in-vitro, namun makin besar juga kemungkinannya untuk terkontaminasi, makin banyak kebutuhannya akan media dan makin besar wadah/botol kultur yang diperlukan. Oleh karena itu perlu diketahui ukuran eksplan yang sesuai untuk masing-masing varietas dan spesies tanaman.


Pertumbuhan pucuk, inisiasi dan perbanyakan tunas aksilar yang dihasilkan umumnya dirangsang dengan cara menambahkan hormon pertumbuhan (umumnya sitokinin) ke dalam media pertumbuhannya. Perlakuan ini dapat merangsang pertumbuhan tunas samping dan mematahkan dominasi apikal dari pucuk yang dikulturkan. Selain itu, dominasi apikal juga dapat dihilangkan dengan perlakuan-perlakuan lain misalnya pemangkasan daun-daun yang terdapat pada buku-buku tunas atau meletakkan eskpan dalam posisi horisontal (Gambar 2). Tunas-tunas aksilar yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai stek miniatur bagi proses perbanyakan berikutnya. Dengan teknik ini dan dibarengi dengan sub kultur dapat diperoleh banyak sekali plantet dari satu eksplan. Dengan membatasi jumlah sub kultur sampai maksimal 8 – 10 kali dapat diperoleh klon tanaman yang “true-to-type”. Teknik ini telah digunakan secara luas untuk perbanyakan tanaman termasuk tanaman hortikultura seperti pisang, asparagus, anggrek Cymbidium, dll.


3. Kultur Mata Tunas (Single-node atau Multiple-node Culture) ( In-vitro Layering).
Kultur mata tunas ini merupakan salah satu teknik in-vitro yang digunakan untuk perbanyakan tanaman dengan merangsang munculnya tunas-tunas aksilar dari mata tunas yang dikulturkan. Seperti halnya kultur pucuk, eksplan yang digunakan dalam kultur mata tunas dapat berasal dari tunas lateral, tunas samping atau bagian dari batang yang mengandung satu atau lebih mata tunas (mengandung satu atau lebih buku). Dikenal dua teknik kultur mata tunas yaitu (1) eksplan yang mengandung mata tunas lebih dari satu ditanam secara horisontal di atas medium padat (teknik in-vitro layering) atau (2) tiap buku yang mengandung satu mata tunas dipotong-potong dan ditanam secara terpisah dalam tiap-tiap botol kultur.


Seperti halnya teknik kultur pucuk, pertumbuhan tunas-tunas aksilar juga berdasarkan pada prinsip pematahan dominasi apikal. Oleh karena itu, pertumbuhan tunas-tunas aksilar ini terjadi jika eksplan (mata tunas) ditanam pada media yang mengandung sitokinin dalam konsentrasi cukup tinggi sehingga sitokinin ini dapat menghentikan dominasi pucuk apikal dan menyebabkan berkembangnya tunas-tunas aksilar. Tunas aksilar yang terbentuk selanjutnya dipisah-pisahkan dan dapat langsung ditanam pada media pengakaran sehingga diperoleh tanaman baru yang sempurna atau digunakan kembali sebagai bahan tanam untuk perbanyakan selanjutnya. Tunas-tunas tersebut selanjutnya diakarkan dan diaklimatisasi dan selanjutnya ditanam di lapangan. Teknik ini telah lama dan banyak dipergunakan untuk perbanyakan tanaman hortikultura seperti kentang, asparagus, melon, semangka, anggrek, dan banyak lagi lainnya.

4. Induksi pembentukan tunas dari meristem bunga.
Meristem bunga dapat juga dirangsang untuk membentuk tunas-tunas vegetatif dalam kondisi in-vitro. Eksplan yang digunakan adalah inflorescence bunga yang belum matang (immature inflorescences) yaitu yang belum membentuk organ-organ kelamin jantan dan betinanya. Penggunaan infloresence yang telah dewasa akan menghasilkan pembentukan organ bunga bukan kuncup vegetatif. Beberapa contoh tanaman hortikultura yang diperbanyak dengan teknik ini adalah brokoli, kol bunga, krisan dan sugar beat.

5. Inisiasi Langsung Tunas Adventif .
Tunas adventif adalah tunas yang terbentuk dari eksplan pada bagian yang bukan merupakan tempat asal terbentuknya (bukan dari mata tunas atau buku). Tunas-tunas adventif ini dapat terbentuk langsung dari eksplan tanpa melalui proses terbentuknya kalus terlebih dahulu. Teknik ini merupakan salah satu teknik mikropropagasi yang juga banyak dilakukan dan dapat menghasilkan plantlet dalam jumlah jauh lebih banyak dari teknik terdahulu (pembentukan tunas aksilar). Proses pembentukan tunas adventif langsung dari jaringan eksplan seperti akar, pucuk dan bunga disebut organogenesis. Terjadinya organogenesis dipacu oleh adanya komponen-komponen seperti medium, komponen endogen selama eksplan mulai dikulturkan dan senyawa-senyawa yang terbawa selama inisiasi eskplan. Selain itu organogenesis dipacu juga oleh keberadaan zat pengatur tumbuh eksogen di dalam medium. Sebagai contoh rasio antara auxin yang tinggi: sitokinin akan menginduksi eksplan kea rah pembentukan akar pada kalus tanaman tembakau tetapi sebaliknya jika pemberian auxinrendah : sitokinin akan memacu kea rah tunas. Tunas dan akar terbentuk pada beberapa lapis sel tipis pada eksplan beberapa spesies oleh adanya perbedaan konsentrasi antara auxin dan sitokinin. Inisiasi akar dapat dipacu dengan penambahan NAA dan zeatin dan pembentukan tunas dipacu dengan penambahan sitokinin seperti Zeatin atau benzylaminopurine tanpa penambahan auxin. Pada beberapa spesies organogenesis terbentuk pada lapisan epidermal selama kultur in vitro, misalnya pada tanaman Begonia rex (Dodds dan Robert, 1983).


Menurut Torrey (1966 dalam Dodds dan Roberts, 1983) membuat hipotesis bahwa organogenesis dari kalus diinisiasi dengan pembentukan kluster sel-sel meristem (meristemoid) mampu merespon pada factor-faktor dalam jaringan untuk memproduksi primordium. Inisiasi pembentukan akar, tunas dan embrioid juga dipengaruhi oleh factor-faktor internal alamiah.
Beberapa factor yang berpengaruh terhadap rhizogenesis termasuk auxin, karbohidrat, pencahayaan, fotoperiode. Pada beberapa kultur jartingan auxin memacu pembentukan akar, sedangkan adanya auxin eksogen dapat menghambatnya dan rhizogenesis dapat distimulasi oleh anti-auxin.


Keberhasilan pembentukan tunas adventif secara langsung ini sangat tergantung pada bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan serta sangat dipengaruhi oleh spesies atau varietas tanaman asal eskpan tersebut. Pada tanaman yang responsif, hampir semua bagian tanaman (daun, akar, batang, meristem, dll.) dapat dirangsang membentuk organ adventif, namun pada tanaman lainnya tunas adventif ini hanya dapat terbentuk pada bagian-bagian tanaman tertentu saja seperti umbi lapis, embryo atau kecambah.


Seperti halnya teknik mikropropagasi lainnya, tunas adventif secara langsung ini terbentuk melalui serangkaian tahap mulai inisiasi (Tahap 1). Setelah eksplan berada pada kondisi aseptis dan tunas mulai tumbuh, eksplan dapat langsung disubkulturkan ke media perbanyakan (atau media yang sama dengan inisiasi: tergantung varietas) untuk memperbanyak tunas-tunas adventif dari mata tunas adventif yang telah terbentuk pada tahap sebelumnya. Tunas-tunas tersebut selanjutnya dipisahkan, diakarkan dan diaklimatisasi untuk memproduksi tanaman lengkap dan utuh yang dapat tumbuh dalam keadaan alamiah.
Teknik ini telah banyak digunakan secara komersial untuk perbanyakan tanaman-tanaman hortikultura khususnya tanaman-tanaman hias. Contoh tanaman hias yang diperbanyak dengan teknik ini adalah tanaman-tanaman keluarga Gesneriaceae, seperti Achimenes, Saitpaulia, Sinningia dan Streptocarpus. Pada tanaman-tanaman tersebut, tunas langsung terbentuk dari eksplan daun tanpa pembentukan kalus terlebih dahulu.

6. Somatic Embryogenesis Langsung.
Embrio aseksual atau embrio somatik (somatic embryo) adalah embrio yang terbentuk bukan dari penyatuan sel-sel gamet jantan dan betina atau dengan kata lain embrio yang terbentuk dari jaringan vegetatif/somatik. Embrio ini dapat terbentuk dari jaringan tanaman yang dikulturkan tanpa melalui proses yang dikenal dengan nama “somatic embryogenesis”. Jika proses ini terbentuk langsung pada eksplan tanpa melalui proses pembentukan kalus terlebih dahulu, maka prosesnya disebut “somatic embryogenesis langsung (direct somatic embryogenesis)”.


Beberapa jenis tanaman hortikultura (misalnya jeruk) dapat secara alamiah membentuk embryo aseksual ini. Dalam kondisi alamiah, embrio aseksual ini dapat terutama pada tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan lebih dari satu embryo pada bijinya misalnya pada jeruk, atau tanaman yang menghasilkan biji-biji vegetatif (apomixis) misalnya pada manggis. Selain itu, embrio aseksual ini dapat juga terbentyuk dari jaringan-jaringan tanaman seperti ovule, jaringan nukleus (nucellar embryoni), jaringan integumun pada ovule (misalnya pada pepaya), jaringan pembungkus biji/mesocaps pada wortel. Tanaman-tanaman tersebut dapat juga membentuk embrio aseksual ini secara in-vitro.


Dalam kondisis in-vitro, embrio aseksual ini dapat terbentuk secara langsung dari eksplan-eskplan embrio (seksual/zygotic) dari golongan monokotil dan dikotil, dari kecambah muda (hipocotyl dan cotyledon), dan bagian eksplan juvenil lainnya. Embrio aseksual ini dapat digunakan sebagai salah satu cara perbanyakan tanaman secara in-vitro. Embrio yang telah terbentuk dapat dimultiplikasi, selanjutnya melalui beberapa proses perkembangan sampai masak dan dapat berkecambah membentuk tanaman utuh. Tanaman ini selanjutnya diaklimatisasi dan ditanam pada kondisi alamiahnya. Teknik ini digunakan untuk perbanyakan beberapa tanaman hortikultura terutama anggrek dimana embrio aseksual (berupa protocorm like body, “plb”) terbentuk dari dari meristem, daun, dll.

Baca Selengkapnya...

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Mikropropagasi


Faktor-faktor Yang Berpengaruh Pada Keberhasilan Mikropropagasi

1.
Genotip Tanaman
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur in-vitro adalah genotip tanaman asal eksplan diisolasi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa respon masing-masing eksplan tanaman sangat bervariasi tergantung dari spesies, bahkan varietas, tanaman asal eksplan tersebut. Pengaruh genotip ini umumnya berhubungan erat dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan eksplan, seperti kebutuhan nutrisi, zat pengatur tumbuh, lingkungan kultur, dll. Oleh karena itu, komposisi media, zat pengatur tumbuh dan lingkungan pertumbuhan yang dibutuhkan oleh masing-masing varietas tanaman bervariasi meskipun teknik kultur jaringan yang digunakan sama.

Perbedaan respon genotip tanaman tersebut dapat diamati pada perbedaan eksplan masing-masing varietas untuk tumbuh dan beregenerasi. Masing-masing varietas tanaman berbeda kemampuannya dalam merangsang pertumbuhan tunas aksilar, baik jumlah tunas maupun kecepatan pertumbuhan tunas aksilarnya. Hal serupa juga terjadi pada pembentukan kalus, laju pertumbuhan kalus serta regenerasi kalus menjadi tanaman lengkap baik melalui pembentukan organ-organ adventif maupun embrio somatik. Regenerasi dan perkembangan organ adventif dan somatic embrio juga sangat ditentukan oleh varietas tanaman induk. Perbedaan pengaruh genetik ini disebabkan karena perbedaan kontrol genetik dari masing-masing varietas serta jenis kelamin tanaman induk.

2.
Media Kultur
Perbedaan komposisi media, komposisi zat pengatur tumbuh dan jenis media yang digunakan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan regenerasi eksplan yang dikulturkan.

a. Komposisi Media.
Perbedaan komposisi media, seperti jenis dan komposisi garam-garam anorganik, senyawa organik, zat pengatur tumbuh sangat mempengaruhi respon eksplan saat dikulturkan. Perbedaan komposisi media biasanya sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan. Meskipun demikian, media yang telah diformulasikan tidak hanya berlaku untuk satu jenis eksplan dan tanaman saja. Beberapa jenis formulasi media bahkan digunakan secara umum untuk berbagai jenis eksplan dan varietas tanaman, seperti media MS. Namun ada juga beberapa jenis media yang diformulasikan untuk tanaman-tanaman tertentu misalnya WPM, VW dll. Media-media tersebut dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti perkecambahan biji, kultur pucuk, kultur kalus, regenerasi kalus melalui organogenesis dan embriogenesis. Media yang dibutuhkan untuk perkecambahan biji, perangsangan tunas-tunas aksilar umumnya lebih sederhana dibandingkan dengan media untuk regenerasi kalus baik melalui organogenesis maupun embryogenesis.

b. Komposisi Hormon Pertumbuhan.
Komposisi dan konsentrasi hormon pertumbuhan yang ditambahkan dalam media sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan yang dikulturkan. Komposisi dan konsentrasi hormon pertumbuhan yang ditambahkan ke dalam media kultur sangat tergantung dari jenis eksplan yang dikulturkan dan tujuan pengkulturannya. Konsentrasi hormon pertumbuhan optimal yang ditambahkan ke dalam media tergantung pula dari eksplan yang dikulturkan serta kandungan hormon pertumbuhan endogen yang terdapat pada eksplan tersebut. Komposisi yang sesuai ini dapat diperkiraan percobaan-percobaan yang telah dilakukan sebelumnya dibarengi percobaan untuk mengetahui kompisisi hormon pertumbuhan yang sesuai dengan kebutuhan dan arah pertumbuan eksplan yang diinginkan.
Hormon pertumbuhan yang digunakan untuk perbanyakan secara in-vitro adalah golongan auksin, sitokinin, giberelin, dan growth retardan. Auksin yang umum dipakai adalah IAA (Indole Acetic Acid), IBA (Indole Butyric Acid), NAA (Naphtalena Acetic Acid dan 2,4-D (2,4-dichlorophenoxy Acetic Acid). Selain itu beberapa peneliti pada beberapa tanaman menggunakan juga CPA (Chlorophenoxy Acetic Acid). Sitokinin yang banyak dipakai adalah Kinetin (Furfuryl Amino Purine), BAP/BA (Benzyl Amino Purine/Benzyl Adenine), 2i-P (2-isopentenyl Adenin). Beberapa sitokinin lainnya yang juga digunakan adalah Zeatin, Thidiazuron dan PBA (6(benzylamino)-9-(2-tetrahydropyranyl)-9H-purine). Hormon pertumbuhan golongan giberellin yang paling umum digunakan adalah GA3, selian itu ada beberapa peneliti yang menggunakan GA4 dan GA7, sedangkan growth retardant yang sering digunakan adalah Ancymidol, Paraclobutrazol dan TIBA, AbA dan CCC.

c. Keadaan Fisik Media.
Media yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah medium padat, medium semi padat dan medium cair. Keadaan fisik media akan mempengaruhi pertumbuhan kultur, kecepatan pertumbuhan dan diferensiasinya. Keadaan fisik media ini mempengaruhi pertumbuhan antara lain karena efeknya terhadap osmolaritas larutan dalam media serta ketersediaan oksigen bagi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan.
Media yang umum digunakan dalam mikropropagasi adalah semi-solid (semi padat) media dengan cara menambahkan agar. Media semi padat ini digunakan karena beberapa alasan antara lain 1) eksplan yang kecil mudah terlihat dalam media padat, 2) selama kultur eksplan tetap berada pada orientasi yang sama, 3) eksplan berada di atas permukaan media sehingga tidak diperlukan teknik aerasi tambahan pada kultur, 4) orientasi pertumbuhan tunas dan akar tetap, dan 5) kalus tidak pecah seperti jika ditempatkan pada media cair. Namun penambahan agar dalam beberapa kasus dapat menghambat pertumbuhan karena 1) agar mungkin mengandung senyawa penghambat yang dapat menghambat morfogenesis beberapa kultur atau memperlambat pertumbuhan kultur, 2) eksudasi fenolik dari eksplan terserap oleh media yang menempel dengan eksplan sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan eksplan, 3) agar harus dicuci bersih dari akar sebelum diaklimatisasi, dan 4) perlu waktu yang lebih banyak untuk mencuci gelas kultur misalnya botol-botol harus diautoklave untuk melarutkan agar sebelum dicuci.

3. Lingkungan Tumbuh
a. Suhu.
Tanaman umumnya tumbuh pada lingkungan dengan suhu yang tidak sama setiap saat, misalnya pada siang dan malam hari tanaman mengalami kondisi dengan perbedaan suhu yang cukup besar. Keadaan demikian bisa dilakukan dalam kultur in vitro dengan mengatur suhu siang dan malam di ruang kultur, namun laboratorium kultur jaringan selama ini mengatur suhu ruang kultur yang konstant baik pada siang maupun malam hari. Umumnya temperatur yang digunakan dalam kultur in vitro lebih tinggi dari kondisi suhu in vivo. Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan dan morfogenesis eksplan.

Pada sebagian besar laboratorium, suhu yang digunakan adalah konstan, yaitu 25°C (kisaran suhu 17 - 32°C). Tanaman tropis umumnya dikulturkan pada suhu yang sedikit lebih tinggi dari tanaman empat musim, yaitu 27°C (kisaran suhu 24 - 32°C). Bila suhu siang dan malam diatur berbeda, maka perbedaannya umumnya adalah 4 - 8°C, variasi yang biasa dilakukan adalah 25°C siang dan 20(C malam, atau 28(C siang dan 24(C malam. Meskipun hampir semua tanaman dapat tumbuh pada kisaran suhu tersebut, namun kebutuhan suhu untuk masing-masing jenis tanaman umumnya berbeda-beda. Tanaman dapat tumbuh dengan baik pada suhu optimumnya. Pada suhu ruang kultur dibawah optimum, pertumbuhan eksplan lebih lambat, namun pada suhu diatas optimum pertumbuhan tanaman juga terhambat abibat tingginya laju respirasi eksplan.

b. Kelembaban Relatif.
Kelembaban relatif dalam botol kultur dengan mulut botol yang ditutup umumnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 80 - 99%. Jika mulut botol ditutup agak longgar maka kelembaban relatif dalam botol kultur dapat lebih rendah dari 80%. Sedangkan kelembaban relatif di ruang kultur umumnya adalah sekitar 70%. Jika kelembaban relatif ruang kultur berada dibawah 70% maka akan mengakibatkan media dalam botol kultur (yang tidak tertutup rapat) akan cepat menguap dan kering sehingga eksplan dan plantlet yang dikulturkan akan cepat kehabisan media. Namun kelembaban udara dalam botol kultur yang terlalu tinggi menyebabkan tanaman tumbuh abnormal yaitu daun lemah, mudah patah, tanaman kecil-kecil namun terlampau sukulen. Kondisi tanaman demikian disebut "vitrifikasi" atau "hiperhidrocity". Sub-kultur ke media lain atau menempatkan planlet kecil ini dalam botol dengan tutup yang agak longgar, tutup dengan filter, atau menempatkan silica gel dalam botol kultur dapat membantu mengatasi masalah ini.

c. Cahaya.
Seperti halnya pertumbuhan tanaman dalam kondisi in-vivo, kuantitas dan kualitas cahaya, yaitu intensitas, lama penyinaran dan panjang gelombang cahaya mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur in-vitro. Pertumbuhan organ atau jaringan tanaman dalam kultur in-vitro umumnya tidak dihambat oleh cahaya, namun pertumbuhan kalus umumnya dihambat oleh cahaya.

Pada perbanyakan tanaman secara in-vitro, kultur umumnya diinkubasikan pada ruang penyimpanan dengan penyinaran. Tunas-tunas umumnya dirangsang pertumbuhannya dengan penyinaran, kecuali pada teknik perbanyakan yang diawali dengan pertumbuhan kalus. Sumber cahaya pada ruang kultur ini umumnya adalah lampu flourescent (TL). Hal ini disebabkan karena lampu TL menghasilkan cahaya warna putih, selain itu sinar lampu TL tidak meningkatkan suhu ruang kultur secara drastis (hanya meningkat sedikit). Intensitas cahaya yang digunakan pada ruang kultur umumnya jauh lebih rendah (1/10) dari intensitas cahaya yang dibutuhkan tanaman dalam keadaan normal. Intensitas cahaya dalam ruang kultur untuk pertumbuhan tunas umumnya berkisar antara 600 - 1000 lux . Perkecambahan dan inisiasi akar umumnya dilakukan pada intensitas cahaya lebih rendah.

Selain intensitas cahaya, lama penyinaran atau photoperiodisitas juga mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan. Lama penyinaran umumnya diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode terang dan gelap umumnya diatur pada kisaran 8 - 16 jam terang dan 16 - 8 jam gelap tergantung varietas tanaman dan eksplan yang dikulturkan. Periode siang/malam (terang/gelap) ini diatur secara otomatis menggunakan timer yang ditempatkan pada skaklar lampu pada ruang kultur. Dengan teknik ini penyinaran dapat diatur konstan sesuai kebutuhan tanaman.

4. Kondisi Eksplan

Pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh keadaan jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Selain faktor genetis eksplan yang telah disebutkan di atas, kondisi eksplan yang mempengaruhi keberhasilan kultur adalah jenis eksplan, ukuran, umur dan fase fisiologis jaringan yang digunakan sebagai eksplan.

Meskipun masing-masing sel tanaman memiliki kemampuan totipotensi, namun masing-masing jaringan memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk tumbuh dan beregenerasi dalam kultur jaringan. Oleh karena itu, jenis eksplan yang digunakan untuk masing-masing kultur berbeda-beda tergantung tujuan pengkulturannya.

Umur eksplan sangat berpengaruh terhadap kemampuan eksplan tersebut untuk tumbuh dan beregenerasi. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut. Jaringan muda umumnya memiliki sel-sel yang aktif membelah dengan dinding sel yang belum kompleks sehingga lebih mudah dimodifikasi dalam kultur dibandingkan jaringan tua. Oleh karena itu, inisiasi kultur biasanya dilakukan dengan menggunakan pucuk-pucuk muda, kuncup-kuncup muda, hipokotil, inflorescence yang belum dewasa, dll. Jika eksplan diambil dari tanaman dewasa, rejuvenilisasi tanaman induk melalui pemangkasan atau pemupukan dapat membantu untuk memperoleh eksplan muda agar kultur lebih berhasil.

Ukuran eksplan juga mempengaruhi keberhasilan kultur. Eksplan dengan ukuran kecil lebih mudah disterilisasi dan tidak membutuhkan ruang serta media yang banyak, namun kemampuannya untuk beregenerasi juga lebih kecil sehingga dibutuhkan media yang lebih kompleks untuk pertumbuhan dan regenerasinya. Sebaliknya semakin besar eksplan, maka semakin besar kemungkinannya untuk membawa penyakit dan makin sulit untuk diterilkan, membutuhkan ruang dan media kultur yang lebih banyak. Ukuran eskplan yang sesuai sangat tergantung dari jenis tanaman yang dikulturkan, teknik dan tujuan pengkulturannya.

Baca Selengkapnya...

Tahapan Dalam Mikropropagasi

Di atas telah dijelaskan bahwa mikropropagasi dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahapan-tahapan ini bukan hanya menjelaskan prosedur mikropropagasi, namun juga menjelaskan saat perubahan pada lingkungan kultur misalnya perubahan komposisi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam media.
Ada lima tahapan dalam mikropropagasi, yakni:
Tahap 0: tahap persiapan (preparasi).
Tahap 1: tahap induksi (pemacuan).
Tahap 2: tahap multiplikasi (perbanyakan).
Tahap 3: tahap pengakaran.
Tahap 4: tahap transplantasi (pemindahahan) ke media terrestrial.

Tahap 0: tahap persiapan (preparasi), Seleksi dan Persiapan Pohon Induk
Tahapan ini dilakukan sebelum eksplan diambil untuk perbanyakan. Pohon induk yang akan digunakan sebagai sumber eksplan harus dipilih secara hati-hati. Pohon ini adalah pohon dari spesies atau verietas yang akan diperbanyak, mempunyai vigor yang sehat dan bebas dari gejala serangan hama atau penyakit. Kadang-kadang pohon induk atau bagian tanaman yang akan diambil sebagai eksplan perlu diperlakukan khusus agar mikropropagasi berhasil.
Perlakuan-perlakuan tersebut antara lain :
(1) Penaman di green house atau pot untuk mengurangi sumber kontaminan,
(2) Pemberian lingkungan yang sesuai atau perlakuan kimia untuk meningkatkan kecepatan multiplikasi dalam kondisi in-vitro,
(3) Indexing atau prosedur lain untuk mengetahui adanya penyakit sistemik oleh virus atau bakteri,
(4) Perangsangan pertumbuhan tunas-tunas dorman, dll.

Pada permulaan pengerjaan kultur jaringan problem terbesar yang dihadapi adalah mengatasi kontaminasi. Tempat pengambilan eksplan sangat berpengaruh besarnya resiko kontaminasi oleh infeksi jamur. Eksplan yang diambil dari rumah kaca yang terjamin kondisi kehegienisannya akan jauh dapat mengurangi resiko terkontaminasi oleh infeksi jamur dibanding bila eksplan diambil dari lapangan. Namun ada yang lebih sulit untuk menghindari kontaminasi terhadap bakteri, karena sering sulit untuk membedakan apakah kontaminasi tersebut berasal dari bakteri endogin atau eksogin.

Idialnya tanaman induk yang akan dijadikan sebagai eksplan sebaiknya ditanam di dalam rumah kaca yang terjaga kehegienisannya. Ini tidak hanya dapat mereduksi populasi jumlah mikroorganisme yang hidup di permukaan tanaman, tetapi juga membantu untuk memproduksi tanaman berkualitas.

Pada tahap 0 termasuk juga beberapa intervensi yang dapat membuat eksplan lebih sesuai atau lebih siap sebagai material awal. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam tanaman induk kultur jaringan adalah cahaya, temperatur dan zat pengatur tumbuh.

Cahaya. Pada tanaman petunia yang diberi perlakuan cahaya sinar merah dengan panjang gelombang 640-700 nm pada sore hari dapat memacu pertumbuhan percabangan sedangan pada tanaman yang disinari dengan panjang gelombang 700-795 nm menyebabkan pertumbuhan tumbuhan tunas terminal yang tegak dan tidak menghasilkan tunas horizontal. Lebih jauh, jika helaian daunnya digunakan sebagai eksplan pada perlakuan panjang gelombang 640-700 nm akan dapat memproduksi lebih banyak tunas per eksplan dibandingkan pada eksplan yang berasal dari tanaman yang diberi perlakuan dengan panjang gelombang 700-795 nm.

Temperatur. Umbi lapis (bulbus) tanaman kebanyakan mengalami dormansi, untuk memecahkan dormansi dan memacu pertumbuhan perlu adanya perlakuan penyimpanan di dalam ruang dingin dengan temperatur 4o C untuk umbi bunga lili. Perlakuan temperatur dingin juga dapat memacu pertumbuhan anak umbi (bulblet) yang lebih berat pada tanaman hyacin setelah disimpan selama 70 hari pada suhu 15o C.

Zat pengatur tumbuh. Adanya BA pada perkecambahan biji Brassica campestris, dapat menyebabkan kotiledon yang diambil dari perkecambahan tersebut akan lebih mudah melakukan regenerasi lebih efisien. Untuk menambah respon eksplan tanaman kayu, tanaman induk dapat diperlakuan dengan larutan sucrose, 8-hydroxyquinoline citrate, BA dan GA3.


Tahap 1: tahap awal atau induksi (Inisiasi)
Tahap awal ini amat sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan mikropropagasi. Keberhasilan tahap ini pertama kali terlihat dari keberhasilan penanaman eksplan pada kondisi aseptis (bebas dari segala kontaminan) dan harus diikuti dengan pertumbuhan awal eksplan sesuai tujuan penanamannya (misalnya: perpanjangan pucuk, pertumbuhan awal tunas, atau pertumbuhan kalus pada eksplan). Setelah 1 – 2 minggu inkubasi, kultur yang terkontaminasi oleh bakteri atau jamur (baik pada media maupun eksplannya) dibuang. Tahap ini selesai dan kultur bisa dipindahkan ke tahap berikutnya bila eksplan yang tidak terkontaminasi telah tumbuh sesuai dengan harapan (misalnya tunas lateral atau tunas adventif tumbuh). Untuk eksplan yang mengalami kontaminasi berat atau yang sulit untuk disterilisasi maka eksplan terlebih dahulu dapat ditanam pada media inkubasi atau establishment yaitu media yang hanya mengandung gula dan agar saja dengan tujuan untuk isolasi eskplan yang tidak terkontaminasi sebelum diinisiasi pada tahap 1 mikropropagasi.

Tujuan dari tahap ini adalah memproduksi kultur axenic. Untuk kebanyakan pekerjaan mikropropagasi, eksplan yang dipilih adalah tunas aksilar atau terminal; hanya pada tanaman terbatas eksplan yang digunakan dapat dari potongan daun seperti pada Begonia dan Saintpaulia (African violet) atau perbungaan pada tanaman Gerbera spp.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada keberhasilan pada tahap ini adalah:
Umur tanaman induk
Umur fisiologis dari eksplan
Tahap perkembangan dari eksplan
Ukuran dari eksplan.
Reaksi hipersensitif:

Ketika jaringan tanaman diekspos pada situasi stress seperti luka mekanikal, metabolisme fenolik komplek tersimulasi. Intervensi ini menyebabkan reaksi hipersensitif, seperti:
Melepaskan isi sel-sel yang rusak.
Reaksi-reaksi di dalam sel-sel tetangganya tetapi tanpa menunjukkan gejala adanya luka itu sendiri.

Dan / atau mati premature dari sel-sel yang spesifik dalan lingkungan luka atau tempat infeksi.
Pada umumnya metabolisme fenolik komplek mempunyai 3 tipe reaksi dalam merespon stress atau luka, yakni:
Oksidasi dari terbentuknya fenolik komplek (mumculnya senyawa quinon dan material polymerisasi).
Pembentukan turunan monomerik.
Pembentukan turunan polimer fenolik.

Pembentukan monomer fenolik di dalam jaringan dapat memacu untuk mengakumulasi sejumlah besar produk, atau munculnya produk baru yang berperan dalam mekanisme proteksi dari jaringan yang luka. Peranan dari pruduk ini dapat membentuk pembatas fisik melawan invasi (seperti lignin), atau senyawa inhibitor dari pertumbuhan mikrobia (seperti quinon atau fitoalexin).

Umumnya, jaringan mengandung senyawa fenolik komplek berkonsentrasi tinggi, maka jaringan tersebut sulit untuk dikulturkan. Senyawa fenol adalah produk yang labil dan sangat mudah teroksidasi dan fenol teroksidasi dapat menjadi fitotoksit. Strategi untuk mereduksi atau menghilangkan senyawa fenolik komplek tersebut adalah:
Mencuci atau membersihkan pruduk senyawa fenolik komplek dengan membersihkannya dengan merendam kedalam air pada jangka yang panjang atau mengabsorbsinya dengan arang aktif atay senyawa polyvinylpyrrolidone).

Mmenghambat kerja enzim fenolase menggunakan agen khelat.
Mereduksi aktifitas fenolase dan kemampuan substrat dengan menggunakan pHrendah, dengan penambahan senyawa antioksidan seperti: asam askorbat, asam sitrat atau menginkubasikan kultur di dalam ruang gelap.

Mereduksi terjadinya stress pada eksplan, terutama pada waktu sterilisasi atau penanaman, induk tanaman yang higienis dapat mengurangi stress.
Penggunaan mikroelemen tertentu dapat menyetimulasi terbentuknya senyawa fenol, seperti Mn2+ (berperan sebagai cofactor peroksidasi) dan Cu2+ (merupakan bagian dari enzim fenolase komplek). Oleh karena itu untuk jaringan yang menghasilkan fenolik komplek berlebihan disarankan untuk mengurangi konsentrasi atau tidak menggunakan unsur tersebut dalam media.

Menginkubasikan kultur dalam ruangan yang bersuhu rendah.
Sebaiknya sebelum eksplan ditanam pada media perlakuan ditempatkan pada media tanpa zat pengatur tumbuh untuk mengurangi terjadinya pencoklatan atau penghitaman pada eksplan.

Tahap 2 : Tahap perbanyakan (Multiplikasi)
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk memperoleh dan memperbanyak tunas. Kultur axenik yang telah dihasilkan pada tahap I pada tahap II dipindahkan pada media yang kaya akan cytokinin agar eksplan dapat menghasilkan tunas yang banyak yang selanjutnya pada tahap III nanti tunas-tunas tersebut dipindahkan pada media pengakaran untuk memacu pertumbuhan akar.

Pada tahap ini, eksplan dapat juga membentuk kalus (callogenesis) atau membentuk tunas (caulogenesis). Pada pertumbuhan kalus sering dihasilkan embrioid dan setiap embrioid nantinya akan membentuk individu tanaman baru (somatic embriogenesis), atau kadang memproduksi meristemoid yang akan tumbuh menjadi tunas (organogenesis). Callogenesis sering menimbulkanterjadinya aberasi genetik yang dikena dengan istilah variasi somaklonal, sehingga tanaman yang dihasilkan tidak identik dengan tanaman induknya.

Cara lain yaitu tengantung dari jenis organ yang digunakan sebagai eksplan, seperti pada tanaman Saintpaulias dan Begonia rex, eksplan yang digunakan biasanya berupa: akar, daun atau tangkai daun, akan dihasilkan tunas yang dikenal dengan istilah tunas advintif. Tanaman yang dihasilkan dari tenik ini adalah identik dengan induknya. Jarang terjadi abnormalisasi genetic apabila digunakan tunas ketiak atau ujung sebagai eksplan asal melalui pertumbuhan caulogenesis..

Tunas yang diperoleh pada tahapan ini digunakan sebagai bahan perbanyakan berikutnya, oleh karena itu pada tahapan ini dilakukan banyak sub kultur untuk melipatgandakan jumlah plantlet yang dihasilkan. Pada tahapan ini, tunas yang dihasilkan dipotong-potong dengan teknik single-node/ multiple node culture maupun dengan mengambil pucuknya sebagai eksplan untuk perbanyakan. Bahan tersebut kemudian ditanam pada media baru yang umumnya mengandung sitokinin pada konsentrasi yang lebih tinggi dari auksin. Pada tahap ini dapat digunakan media cair (media tanpa agar), semi padat maupun media padat. Dengan modifikasi media yang sesuai, tunas-tunas baru akan tumbuh dari potongan eksplan. Tahapan ini umumnya dilakukan sebanyak 8 – 10 kali sehingga akan dapat dihasilkan sejumlah besar tunas (ribuan tunas) dari satu eksplan pada tahapan inisiasi. Tunas tersebut selanjutnya dibesarkan atau diakarkan pada tahap mikropropagasi berikutnya.

Tahap 3 : Persiapan plantlet sebelum aklimatisasi (tahapan pengakaran)
Tunas atau plantlet yang dihasilkan dari tahapan ke 2 tersebut umumnya masih sangat kecil atau tunas yang belum dilengkapi dengan akar sehingga belum mampu untuk mendukung pertumbuhannya dalam kondisi in-vivo. Oleh karena itu, dalam tahap ini masing-masing plantlet yang dihasilkan ditumbuhkan untuk pembesaran, pengakaran dan perangsangan aktifitas fotosintesisnya. Teknik untuk mendapatkan plantula yang siap untuk di pindahkan ke media terrestrial pada tahap IV antara lain, adalah:
(1) Media untuk pengakaran dan perpanjangan tunas. Media perakaran yang digunakan tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Kluster tunas yang dihasilkan pada tahap II disimpan pada media tanpa ZPT dengan kelembaban yang sangat tinggi.
(2) Individu tunas (propagul) disubkultur ke media dengan mengurangi konsentrasi atau tanpa penambahan sitokinin dan menambah konsentrasi auxin serta kadang dengan mengurangi konsentrasi senyawa anorganik. Pada beberapa jenis tanaman pengakaran dapat dilakukan dengan cara menempakan tunas hasil tahap II (propagul) diletakan pada aerasi media cair lebih baik dari pada pada media padat. Atau dengan cara memindahkan propagul ke media yang berisi auxin selama 1-2 hari, kemudian disubkultur lagi ke media tanpa auxin (induksi akar dipacu oleh adanya auxin, tetapi pertumbuhan akar dapat dihambat oleh keberadaan auxin dalam media). Atau propagul dicelupkan dalam larutan pangakaran (auxin) sebentar dan selanjutnya ditanam dalam medium tanpa auxin.
(3) Tahapan pemanjangan ini dapat ditempuh dengan cara meletakan propagul medium agar tanpa atau dengan konsentrasi yang sangat rendah sitokinin selamas 2-4 minggu. Pada beberapa tanaman menggunakan penambahan GA3 dalam medium. Selanjutnya propagul dipindahkan ke media lainnya seperti teknik sebelumnya.
(4) Penggunaan media praaklimatisasi dan lingkungan kultur dengan penyinaran yang lebih intensitas cahayanya untuk perangsangan aktifitas fotosintesis misalnya penggunaan media dengan konsentrasi gula rendah/tanpa gula, penambahan intensitas cahaya, perlakuan dengan carbon dioksida, dll.

Tahap 4 : Aklimatisasi
Tahapan aklimatisasi ini adalah tahap pemindahan plantet dari kondisi in-vitro ke kondisi in-vivo. Tahap ini sangat penting dan harus dilakukan secara hati-hati, karena jika tidak dilakukan dengan baik maka sebagian besar plantet yang dihasilkan dapat mati/musnah. Plantlet dikeluarkan dari botol dan agar yang melekat pada akarnya dibersihkan, direndam dalam larutan fungisida, lalu ditanam dalam kompos atau medium porous yang bersih untuk merangsang pembentukan akar-akar serabutnya. Untuk mencegah kematian plantlet akibat transpirasi, plantlet disungkup dengan plastik atau ditempatkan pada ruangan dengan kelembaban tinggi, dengan suhu ruangan dan diletakkan ditempat yang ternaungi dengan intensitas cahaya 30 %. Pada kasus tertentu, daun tanaman disemprot dengan anti transpirant (misalnya Abscicic acid) untuk mencegah penguapan yang terlalu besar dari daun. Secara perlahan, kelembaban dikurangi dan intensitas cahaya ditambah untuk merangsang fotosintesis.

Baca Selengkapnya...

Teknik Mikropropagasi

Propagasi klonal in vitro dikenal dengan istilah mikropropagasi. Kata klon digunakan pertama kali oleh Webber untuk tanaman budidaya yang dihasilkan dari propagasi vegetatif. Jadi propagasi klonal adalah multiplikasi dari individu gen identik melalui reproduksi aseksual sedangkan klon itu sendiri adalah satu populasi tanaman derivat (turunan) dari satu individu tunggal yang dihasilkan melalui reproduksi aseksual.

Seiring dengan perkembangan pemahaman dan kemajuan kultur jaringan maka dewasa ini teknik-teknik kultur jaringan telah digunakan untuk berbagai tujuan termasuk industri bibit tanaman. Teknik perbanyakan mikro (mikropropagasi) telah lama digunakan dan merupakan salah satu contoh menarik dan klasik dari penerapan teknik kultur jaringan. Teknik ini dilakukan dengan cara menanam eksplan berupa pucuk beserta jaringan meristemnya yang dikenal sebagai teknik kultur pucuk (Shoot tip culture) atau menanam tunas lateral dengan satu atau lebih buku (single node and multiple node culture). Teknik terakhir juga dikenal dengan istilah in-vitro layering.

Perbanyakan mikro secara umum dapat diartikan sebagai usaha menumbuhkan bagian tanaman dalam media aseptis kemudian memperbanyak bagian tanaman tersebut sehingga dihasilkan tanaman sempurna dalam jumlah banyak. Tujuan utamanya adalah memproduksi tanaman dalam jumlah besar dan waktu yang singkat.

Teknik ini juga dikenal dengan upaya clonning untuk memproduksi klon tanaman dari jaringan vegetatif. Oleh karena itu tanaman yang dihasilkan melalui upaya clonning ini adalah identik atau serupa dengan induknya. Untuk mengenal lebih jauh tentang mikropropagasi lebih jauh akan dibahas tentang:
Teknik Mikropropagasi.
Metode Perbanyakan Secara In-vitro.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Perbanyakan Tanaman Secara In-vitro.
Contoh Teknik Perbanyakan Tanaman Hortikultura.



Manfaat Teknik Mikropropagasi Dalam Bidang Hortikultura

Teknik perbanyakan in-vitro ini dilakukan dalam industri bibit karena teknik ini memiliki manfaat , antara lain:
1. Dapat digunakan untuk memproduksi bibit dalam jumlah banyak dan waktu yang relatif singkat. Salah satu keunggulan mikropropagasi adalah perbanyakan organ tanaman yang dihasilkannya. Penggunaan hormon pertumbuhan sintetis memungkinkan perbanyakan eksplan dalam jumlah banyak dan waktu singkat. Perbanyakan di dalam wadah kecil memungkinkan dilakukan perbanyakan cepat ini. Dewasa ini telah dilakukan automatisasi dalam mikropropagasi menggunakan mesin pembuat media dan sterilisasi media, pemotongan dan sterilisasi ekspan yang dikendalikan dengan komputer sehingga dapat dilakukan perbanyakan secara lebih cepat dan lebih efisien.
2. Dapat menghasilkan bibit dengan ukuran seragam. Produksi klon secara in vitro dapat dikontrol lebih mudah dbandingkan produksinya dilapangan karena perbanyakan dilakukan dalam wadah kecil. Oleh karena itu bisa dihasilkan klon dengan ukuran yang seragam dalam saat yang bersamaan. Penanaman bibit yang seragam mempermudah pemeliharaan tanaman di lapangan dan panen dapat dilakukan secara serempak.
3. Tidak membutuhkan eksplan dalam jumlah banyak sehingga menghindari kerusakan tanaman induk. Sebaliknya stek, cangkok, penyambungan/penempelan yang intensif dari satu pohon induk dapat mengganggu pertumbuhan tanaman induk bahkan dapat merusaknya.
4. Dapat digunakan untuk perbanyakan cepat tanaman langka, tanaman dengan nilai ekonomis tinggi, atau varietas unggul hasil pemuliaan tanaman.
5. Dapat digunakan untuk memproduksi dan memperbanyak tanaman yang bebas virus melalui teknik kultur meristem.
Penyakit virus menyebabkan banyak kerugian dan kehilangan produksi tanaman pertanian. Seringkali infeksi virus tidak menyebabkan gejala awal yang dapat dilihat, namun akan nampak mengurangi vigor atau penampilan tanaman dan menurunkan kualitas maupun kuantitas hasil. Dewasa ini belum ada cara pengendalian dan pemberantasannya yang efektif. Hal ini menjadi masalah bagi tanaman hortikultura yang diperbanyak secara vegetatif misalnya kentang dan jeruk karena virus akan terbawa oleh keturunanannya. Isolasi dan penaman jaringan yang bebas virus (meristem) secara in vitro telah berhasil memproduksi klon kentang dan jeruk bebas virus.

Selain manfaatnya tersebut, perbanyakan dengan teknik kultur jaringan ini juga memiliki kelemahan antara lain agar usaha ini berhasil diperlukan ketrampilan khusus, fasilitas pendukung produksi yang khusus, mungkin diperlukan metode-metode khusus untuk mengoptimalkan produksi masing-masing varietas tanaman dan spesies dan karena metode yang dewasa ini tersedia membutuhkan banyak tenaga kerja maka biaya produksinya umumnya tinggi.

Selain hal tersebut dapat terjadi variasi tanaman yang dihasilkan dari perbanyakan secara in-vitro sehingga tanaman yang dihasilkan berbeda dengan induknya. Variasi ini dikenal dengan istilah “variasi somaklonal” karena variasi muncul pada klon yang dihasilkan dari organ-organ somatik (vegetatif). Hal ini dapat terjadi karena tanaman terus menerus dan dalam waktu lama ditanam dan diperbanyak dalam media yang mengandung hormon pertumbuhan tertentu.
Variasi ini juga timbul bilamana eksplan ditanam dalam media yang memungkinkan terbentuknya kalus. Pembelahan sel yang sangat cepat pada kalus dapat mengakibatkan perubahan genetis sel-sel kalus akibat penyimpangan informasi genetis yang diterima oleh masing-masing sel kalus tersebut.
Variasi somaklonal ini dapat dikurangi dengan cara:
1) membatasi jumlah sub-kultur dan perbanyaknnya,
2) menanam dalam medium tanpa hormon pertumbuhan untuk satu atau dua periode sub kultur dan
3) jika memungkinkan menghindari perbanyakan melalui kultur kalus. Namun pada beberapa jenis tanaman, terutama tanaman yang tidak bisa diperbanyak dengan stek dan sulit dirangsang pembentukan tunas-tunas adventifnya maka kultur kalus yang diregenerasikan melalui organogenesis dan embryogenesis merupakan alternatif perbanyakan yang memungkinkan. Apabila variasi somaklonal tidak dapat dihindari, perlu dilakukan pengujian sifat-sifat tanaman yang diregenerasikan sebelum klon dijual secara komersial.

Manfaat Mikropropagasi Dalam Pemuliaan Tanaman
Teknik mikropropagasi dalam pemuliaan tanaman pada umumnya digunakan antara lain, untuk:
Untuk menghasilkan tanaman bebas penyakit (nematoda, mycoplasma, viroid, virus, jamur dll.).
Menghasilkan kultivar baru atau tanaman superior, hybrid baru, seleksi dan klon local, genotip elit.
Menghasilkan galur tetua jantan steril.
Menghasilkan induksi mutan secara spontan
Membuat variasi genetik.

Baca Selengkapnya...

Teknik Isolasi Meristem

Teknik Isolasi Meristem:

Peralatan:
a. LAF
b. Mikroskop binokuler dengan lampu
c. Pinset berujung runcing
d. Skalpel dan jarum suntik
Bahan:
a. Biji kedelai
b. Biji kedelai dikecambahkan secara aseptik
c. Media MS + 0,1 μm BA + 1,0 μm NAA (dapat menginduksi meristem menjadi tanaman lengkap).
Cara kerja:
a. Biji kedelai disterilkan dengan merendam ke dalam alkohol 70% selama 1 menit, dipindahkan kedalam 20% clorox selama 15 menit- 20 menit sambil digoyang, selanjutnya dibilas menggunakan aquadest steril 4x untuk menghilangkan sisa-sisa cloroxnya.
b. Biji tersebut dimasukkan ke dalam aquadest steril dan direndam selama 5-6 jam.
c. Biji-biji tersebut ditanam pada media MS dalam tabung reaksi 18x2,5 cm.
d. Kecambah umur 1 minggu diisolasi meristemnya dibawah mikroskop binokuler (yang telah disterilkan dengan alkohol 70%) pada perbesaran 20x10.
e. Organ daun dibuang secara hati-hati menggunakan skalpel atau jarum sampai terlihat meristem yang berbentuk kubah (dome). Dengan jarum atau ujung scalpel, dibuat irisan dengan bentuk V dengan ukuran 0,2-0,3 mm dan langsung meristem dimasukkan ke dalam media kultur yang telah disediakan.
f. Botol kultur diletakkan pada inkubator pada suhu 25-27oC dengan penyinaran selama 16 jam/hari.

Meristem Kentang

Persiapan bahan tanaman:
a. Umbi kentang yang mempunyai bobot 30 g/ buah atau umbi yang besar yang dipotong dengan berat 20 g/potong dengan beberapa mata.
b. Umbi direndam dalam 0,03 μm GA3 selama 1 jam.
c. Umbi diletakan pada pasir yang lembab.
d. Tunas yang 3-5 cm dipergunakan sebagai bahan awal.

Isolasi meristem:
a. Tunas dicuci bersih menggunakan detergen dan disterilkan dalam larutan clorox 20% selama 7 menit, direndam lagi dalam larutan clorox 10% selama 10 menit, selanjutnya dibilas menggunakan aquadest steril. Tunas dipindahkan pada petri-dish steril.
b. Tunas diambil bagian jaringan meristem dengan cara seperti pada pengambilan jaringan meristem pada kedelai.
c. Media yang digunakan adalah MS + 1 g/L Bacto-tryptone.
d. Botol kultur disimpan dalam inkubator pada suhu 25 oC, panjang penyinaran 12 jam /hari, intensitas cahaya 150 lux selama 7 minggu.
e. plantula yang telah dihasilkan diuji dengan ELISA test.
f. Bila telah bebas virus, plantula dapat disubkultur dengan memotong-motong 1 buku/ eksplan, dipindahkan ke madia MS + 0,001 mg/L dan diulangi prosedur tiak 20 hari, untuk mendapatkan plantula dalam jumlah banyak.


Kultur Meristem Anggrek Cymbidium

Cymbidium dapat dikulturkan pada beberapa media, seperti: media Vacint & went, Muller & Morel, MS ½ atau Knudson C. Tanaman ini dapat ditanaman dalam media cair (botol kultur diletakan di atas shaker dengan pengocokan) ataupun padat dengan penambahan agar 0,8%.
Isolasi bahan tanam:
 Pucuk Cymbidium dipotong sepanjang 3 cm, kemudian daun-daun yang menyelubungi dibuang.
 Pucuk direndam dalam alkohol 70% selama 2 menit dilakukan dua kali kemudia dibilas dengan air steril.
 Pucuk direndam ke dalam larutan clorox 20% selama 5 menit, bilas dengan air steri 2-3 kali dan selanjutnya direndam kembali ke dalam larutan clorox 10% selama 10 menit.
 Pucuk dibilas menggunakan aquadest steril, selanjutnya diletakkan pada cawan petri steril.
 Jaringan meristem yang berbentuk kubah (dome) diambil sekitar ukuran 0,5 mm dari titik tumbuh dengan 2 calon daun.
 Jaringan meristem diletakkan di dalam air steril dalam petri-dish. Jaringan tersebut kemudian dipindahkan pada media dalam botol kultur.

Tahapan kultur:
1. Kultur meristem anggrek dapat dibagi menjadi 3 tahap yang berkesinambungan, yaitu:
a. Inokulasi eksplan dan pembentukan protocorm awal.
b. Perbanyakan protocorm.
c. pembentukan calon tanaman sempurna (plantula).
2. Pada tahap pertama, eksplan diinokulasikan ke dalam media cair, selanjutnya botol kultur dikocok terus menerus menggunakan shaker, hingga eksplan membentuk massa protocorm, shaker diletakkan pada ruangan yang bersuhu 22oC dengan pencahayaan sekitar 100 f.c.
3. Tahap kedua, melakukan perbanyakan protokorm, yaitu dengan memotong-motong protocorm dan dipindahkan ke media segar. Tahap ke dua memerlukan waktu 2 bulan. Media yang digunakan dan pengocokkan dilakukan sama seperti pada tahap pertama.
4. Tahap ketiga adalah memperoleh calon tanaman sempurna (bibit) yaitu dengan perakaran tunas. Protocorm dari tahap ke dua dipanen dan diambil yang berukuran 0,5 cm (satu eksplan satu protocorm). Protocorm yang masih belum mencapai ukuran ditinggalkan dalam botol kultur untuk diperbanyak lagi. Protocorm dewasa dipindahkan dalam media padat, sehingga membentuk tunas dan akar. Bila plantula telah terbentuk sempurna dapat diaklimatisasi untuk dipindahkan ke lapangan

Baca Selengkapnya...

KULTUR ORGAN DAN KULTUR MERISTEM (MIKROPROPAGASI)

Tuesday, 24 March 2009

Kultur Organ

Teknik kultur jaringan semakin berkembang dan popular sebagai salah satu alternatif dari propagasi tanaman vegetatif. Teknik ini meliputi metode propagasi aseksual dan tujuan utamanya adalah membuat tanaman lebih unggul. Kesuksesan dari beberapa seleksi in vitro dan manipulasi genetic pada tanaman tingkat tinggi tergantung pada kesuksesan dari regenerasi tanaman in vitro.

Keberhasilan pertama dalam kultur in vitro dicapai dalam praktek kultur organ. Menurut Shabde – Moses & Murhasige (1979), Hannig, pada tahun 1904 telah berhasil mendapatkan kecambah tanaman jenis crucifer dari embrio-embrio yang diisolasi dari biji yang belum matang (immature). Pertumbuhan organ yang tidak terbatas didalam kultur in vitro, pertama diperlihatkan oleh White dalam kultur akar tomat sekitar tahun 1934.

Kultur organ merupakan topik yang penting dalam penelitian antara tahun 1940-1960. Setelah itu penalitian dalam bidang ini berkurang, kecuali kultur pucuk/meristem. Kultur pucuk atau maristem mempunyai aspek praktis sebagai cara perbanyakan klon yang cepat dan bebas penyakit. Dewasa ini kultur maristem sudah merupakan tindakan komersial yang dikelola oleh perusahaan –perusahaan pembibitan.

Disamping kultur pucuk, pada tahun 60 an, kultur akar mendapat perhatian lagi pada beberapa tanaman tertentu sehubungan dengan tujuan produksi bahan sekunder, terutama untuk jenis-jenis persenyawaan yang berasosiasi dengan akar. Namun kultur akar yang pertumbuhannya tidak terbatas tersebut, dewasa ini pada umumnya dipusatkan pada hasil transformasi dengan Agrobacterium rhizogenes yang merupakan kultur auksin autotroph.
Secara keseluruhan kultur organ dalam ilmu fisiologi dipergunakan dalam studi diferensiasi dan fungsi dari jaringan-jaringan khusus. Kebutuhan nutrisi dan lingkungan, dapat dieksplorasi antara lebih tepat dalam kultur in vitro. Organ-organ tanaman yang sering digunakan sebagai eksplan tergangtung dari jening tanamannya, organ tersebut antara lain adalah:

1. Jaringan meristem,
8. Helaian daun,
2. Pucuk,
9. Tuber rhizogenum
3. Pucuk kormus,
10. Tuber caulogenum
4. Buku kormus,
11. Inflorescentia,
5. Buku bulb
12. Mata Tunas samping
6. Buku batang tunggal,
13. Hipokotil dan epikotil
7. Ruas batang muda,
14. Akar
KULTUR MERISTEM
Kultur meristem (meristem culture) adalah kultur jaringan tanaman dengan menggunakan eksplan berupa jaringan-jaringan meristematik. Jaringan meristem yang digunakan dapat berupa meristem pucuk terminal atau meristem tunas aksilar. Dalam kultur meristem, perkembangan diarahkan untuk mendapatkan tanaman sempurna dari jaringan meristem tersebut dan dapat sekaligus diperbanyak.
Kultur meristem, sudah secara luas diterapkan untuk tujuan perbanyakan tanaman, terutama pada tanaman hortikultura. Sel-sel meristem pada umumnya stabil, karena mitosis pada sel-sel meristem terjadi bersama mericloneengan pembelahan sel yang berkesinambungan, sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik dengan tanaman donornya.

Selain dari perbanyakan, aplikasi kultur meristem yang terutama adalah eliminasi virus dari bahan tanaman dan penyimpanan plasma nutfah yang bebas virus ini dengan teknik Cryopreservation : preservasi dengan temperatur rendah (Kartha, 1981 dalam Gunawan 1988). Merurut Gautheret (1982 dalam Gunawan 1988), kultur meristem dan eliminasi virus, sejarahnya dimulai dari Stanley seorang biochemist yang menganjurkan White yang pada waktu itu bekerja dengan kultur akar tomat untuk menumbuhkan virus dalam akar yang di-isolir. Dalam subkultur, ada akar yang tidak mengandung virus, terutama bila eksplan yang diambil sangat kecil. Pada tahun 1952 Morel dan Martin berhasil memperoleh tanaman dahlia yang bebas virus dan kemudian berkembang pada banyak tanaman-tanaman lain.
Pada tahun 1960 Morel yang mencoba membebaskan tanaman Cymbidium dari virus, bahkan mendapatkan hasil yang merupakan dasar perbanyakan komersial sekarang. Kultur meristem Cymbidium, Morel dapat menghasilkan perbanyakan diri secara cepat. Tanaman yang dihasikan tersebut merupakan perkembangan dan pertumbuhan dari jaringan vegetatif, maka plantula yang dihasilkan merupakan suatu klon. Tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem yang berupa klon sering disebut mericlone. Tahapan pertumbuhan dari kultur meristem Cymbidium dimulai dari terbentuknya kalus terlebih dahulu kemudian disusul terbentuknya protocorm (yaitu suatu struktur serupa dengan perkembangan awal dari perkecambahan biji anggrek yang sebelum tumbuh menjadi tanaman yang sempurna, menggerombol menjadi suatu massa protocorm. Bila massa protocorm tersebut dipisah-pisahkan dan ditumbuhkan di media serupa yang baru maka akan memperbanyak diri menjadi massa protocorm yang baru. Bila protocorm dipindahkan pada media lain yang mengarah pada pendewasaan dan perakaran maka protocorm akan tumbuh menjadi tanaman baru yang sempurna dan siap dipindah ke lapangan.
Hasil yang diperoleh Morel ini tidak hanya membuat revolusi dalam bidang peng-anggrekan, tetapi juga memberikan dorongan dalam perbanyakan cepat tanaman jenis lain. Murashige juga memberikan landasan bahwa kultur meristem dan kultur pucuk dapat digunakan sebagai teknik perbanyakan tanaman hortikultura. Sudah sekitar 10 tahun Murashige bekerja untuk mengembangkan teknik-teknik yang standard untuk beberapa jenis tanaman hias sampai tanaman buah-buahan. Metode yang digunakan untuk berbagai tanaman ini berbeda dengan anggrek. Penggunaan auksin dan sitokinin diperlukan dalam kultur-kultur yang kemudian dikembangkan. Bila Morel memperoleh banyak tanaman baru dari meristem pucuk anggrek dengan melewati proses pembentukan kalus terlebih dahulu, maka Hussey dan Stacey (1980 dalam Gunawan 1988) memperoleh tanaman baru kentang dengan teknik lain. Jutaan tanaman kentang baru diperoleh dalam jangka waktu yang cukup singkat yaitu sekitar satu tahun. Tunas kentang yang bebas virus dijadikan sebagai eksplan awal. Mula-mula satu tunas pucuk atau tunas ketiak kentang ditumbuhkan dalam media perbanyakan, sehingga tumbuh menjadi buku-buku yang masing-masing mengandung satu tunas ketiak. Selanjutnya setiap empat minggu, tunas itu dipanen dan dipotong-potong menjadi buku-buku tunggal atau beberapa buku (3-4 buku) untuk dukulturkan lagi ke dalam media baru. Demikian seterusnya 4 minggu dilakukan kultur berulang.
Perbanyakan vegetatif yang menggunakan eksplan yang telah terinfeksi virus akan menjadi penyebab tersebarnya virus dalam anakan (progeni) di lapangan. Penularan melalui benih sering terjadi pada tanaman Fabaceae seperti buncis, ercis, dan kedelai.
Perkembangbiakan virus sangat tergantung pada metabolisme sel tnaman inang, antara virus dan sel inang terdapat hubungan yang erat. Proses eliminasi virus melalui cara-cara kemoterapi tidak selalu berhasil. Cara yang paling efisien adalah menggunakan kultur meristem. Beberapa contoh tanaman yang berhasil dibersihkan dari virus dengan kultur meristem ditampilkan pada tabel berikut ini:


Teknik Isolasi Meristem
Peralatan:
LAF
Mikroskop binokuler dengan lampu
Pinset berujung runcing
Skalpel dan jarum suntik
Bahan:
Biji kedelai
Biji kedelai dikecambahkan secara aseptik
Media MS + 0,1 μm BA + 1,0 μm NAA (dapat menginduksi meristem menjadi tanaman lengkap).
Cara kerja:
Biji kedelai disterilkan dengan merendam ke dalam alkohol 70% selama 1 menit, dipindahkan kedalam 20% clorox selama 15 menit- 20 menit sambil digoyang, selanjutnya dibilas menggunakan aquadest steril 4x untuk menghilangkan sisa-sisa cloroxnya.
Biji tersebut dimasukkan ke dalam aquadest steril dan direndam selama 5-6 jam.
Biji-biji tersebut ditanam pada media MS dalam tabung reaksi 18x2,5 cm.
Kecambah umur 1 minggu diisolasi meristemnya dibawah mikroskop binokuler (yang telah disterilkan dengan alkohol 70%) pada perbesaran 20x10.
Organ daun dibuang secara hati-hati menggunakan skalpel atau jarum sampai terlihat meristem yang berbentuk kubah (dome). Dengan jarum atau ujung scalpel, dibuat irisan dengan bentuk V dengan ukuran 0,2-0,3 mm dan langsung meristem dimasukkan ke dalam media kultur yang telah disediakan.
Botol kultur diletakkan pada inkubator pada suhu 25-27oC dengan penyinaran selama 16 jam/hari.

Meristem Kentang
Persiapan bahan tanaman:
a. Umbi kentang yang mempunyai bobot 30 g/ buah atau umbi yang besar yang dipotong dengan berat 20 g/potong dengan beberapa mata.
b. Umbi direndam dalam 0,03 μm GA3 selama 1 jam.
c. Umbi diletakan pada pasir yang lembab.
d. Tunas yang 3-5 cm dipergunakan sebagai bahan awal.
Isolasi meristem:
Tunas dicuci bersih menggunakan detergen dan disterilkan dalam larutan clorox 20% selama 7 menit, direndam lagi dalam larutan clorox 10% selama 10 menit, selanjutnya dibilas menggunakan aquadest steril. Tunas dipindahkan pada petri-dish steril.
Tunas diambil bagian jaringan meristem dengan cara seperti pada pengambilan jaringan meristem pada kedelai.
Media yang digunakan adalah MS + 1 g/L Bacto-tryptone.
Botol kultur disimpan dalam inkubator pada suhu 25 oC, panjang penyinaran 12 jam /hari, intensitas cahaya 150 lux selama 7 minggu.
plantula yang telah dihasilkan diuji dengan ELISA test.
Bila telah bebas virus, plantula dapat disubkultur dengan memotong-motong 1 buku/ eksplan, dipindahkan ke madia MS + 0,001 mg/L dan diulangi prosedur tiak 20 hari, untuk mendapatkan plantula dalam jumlah banyak.


Kultur Meristem Anggrek Cymbidium

Cymbidium dapat dikulturkan pada beberapa media, seperti: media Vacint & went, Muller & Morel, MS ½ atau Knudson C. Tanaman ini dapat ditanaman dalam media cair (botol kultur diletakan di atas shaker dengan pengocokan) ataupun padat dengan penambahan agar 0,8%.
Isolasi bahan tanam:
Pucuk Cymbidium dipotong sepanjang 3 cm, kemudian daun-daun yang menyelubungi dibuang.
Pucuk direndam dalam alkohol 70% selama 2 menit dilakukan dua kali kemudia dibilas dengan air steril.
Pucuk direndam ke dalam larutan clorox 20% selama 5 menit, bilas dengan air steri 2-3 kali dan selanjutnya direndam kembali ke dalam larutan clorox 10% selama 10 menit.
Pucuk dibilas menggunakan aquadest steril, selanjutnya diletakkan pada cawan petri steril.
Jaringan meristem yang berbentuk kubah (dome) diambil sekitar ukuran 0,5 mm dari titik tumbuh dengan 2 calon daun.
Jaringan meristem diletakkan di dalam air steril dalam petri-dish. Jaringan tersebut kemudian dipindahkan pada media dalam botol kultur.
Tahapan kultur:
Kultur meristem anggrek dapat dibagi menjadi 3 tahap yang berkesinambungan, yaitu:
a. Inokulasi eksplan dan pembentukan protocorm awal.
b. Perbanyakan protocorm.
c. pembentukan calon tanaman sempurna (plantula).
Pada tahap pertama, eksplan diinokulasikan ke dalam media cair, selanjutnya botol kultur dikocok terus menerus menggunakan shaker, hingga eksplan membentuk massa protocorm, shaker diletakkan pada ruangan yang bersuhu 22oC dengan pencahayaan sekitar 100 f.c.
Tahap kedua, melakukan perbanyakan protokorm, yaitu dengan memotong-motong protocorm dan dipindahkan ke media segar. Tahap ke dua memerlukan waktu 2 bulan. Media yang digunakan dan pengocokkan dilakukan sama seperti pada tahap pertama.
Tahap ketiga adalah memperoleh calon tanaman sempurna (bibit) yaitu dengan perakaran tunas. Protocorm dari tahap ke dua dipanen dan diambil yang berukuran 0,5 cm (satu eksplan satu protocorm). Protocorm yang masih belum mencapai ukuran ditinggalkan dalam botol kultur untuk diperbanyak lagi. Protocorm dewasa dipindahkan dalam media padat, sehingga membentuk tunas dan akar. Bila plantula telah terbentuk sempurna dapat diaklimatisasi untuk dipindahkan ke lapangan

Baca Selengkapnya...

Bahan Pemadat dan Bahan Lain Dalam Media Kultur Taringan Tanaman

BAHAN PEMADAT
Agar
Bahan pemadat yang paling banyak digunakan adalah agar. Keuntungan dari pemakain agar adalah :
1. Agar membeku pada temperatur ≤ 45o C dan mencair pada temperature 100o C, sehingga dalam kisaran temperatur kultur, agar akan berada dalam keadaan beku yang stabil.
2. Tidak dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh jaringan tanaman.
3. Tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan penyusun media.

Agar merupakan campuran polisakharida yang diperoleh dari beberapa spesies Algae. Dalam analisa unsur diperoleh data, bahwa kandungan agar meliputi unsur Ca, Mg, K, dan Na dalam jumlah yang sedikit (Debergh, (1982 dalam Gunawan 1988). Kekentalan media pada umumnya meningkat secara linier oleh pertambahan konsentrasi agar. Kekentalan media juga dipengaruhi oleh :
a. Merek agar yang digunakan, merek agar yang berbeda, memberikan kekentalan yang sedikit berbeda walaupun beratnya sama.
b. pH media.
c. Penambahan arang aktif. Arang aktif 0.8-1 g/l menghambat pembekuan agar (Horner et al (1977 dalam George & Sherrington, 1984).

Dalam perbanyakan komersial dan percobaan-percobaan yang tidak dimaksudkan untuk mempelajari metabolisme sel, penggunaan agar murni bukan suatu keharusan mengingat harga agar murni sangat tinggi. Bahan-bahan yang tidak diinginkan dari agar, dapat dihilangkan dengan cara perendaman dalam aquadest selama 24 jam. Agar kemudian dibilas dengan ethanol dan dikeringkan dalam oven pada 60o C selama 24 jam.

Konsentrasi agar yang diberikan berkisar antara 0.6-1.0 %. Konsentrasi agar yang terlalu tinggi dapat mengurangi difusi persenyawaan dari dan ke arah eksplan sehingga pengambilan hara dan zat tumbuh berkurang, sedangkan zat penghambat dari eksplan tetap berkumpul di sekitar eksplan (Deberg, (1982 dalam Gunawan 1988).

Selain agar, akhir-akhir ini dikembangkan juga zat pemadat lain yang juga merupakan polisakharida, tetapi diisolasi dari mikroorganisme jenis yang lain. Gelrite yang diproduksi oleh Kelco, merupakan polisakharida yang dihasilkan dari bakteri Pseudomonas sp.

Beberapa sifat gelrite yang berlainan dengan agar adalah:
1. Gelrite membentuk gel yang lebih bening dari agar.
2. Untuk mencapai kekentalan gel tertentu, pemakaian gelrite lebih rendah dari agar, pada umumnya konsentrasinya hanya 2 gram/l media, Namun kekentalan gel dari gelrite sangat dipengaruhi oleh kehadiran garam-garam seperti NaCl, KCl, MgCl2, 6H2O dan CaCl2. Garam NaCl dan KCl menurunkan kekentalanan gel, tetapi MgCl2 dan CaCl2 meningkatkan kekentalan gel.

Arang Aktif (Charcoal)

Arang aktif atau charcoal adalah arang yang sudah dipanaskan selama beberapa jam dengan menggunakan uap atau udara panas (George & Sherrington, 1984). Bahan ini mempunyai sifat adsorpsi yang sangat kuat. Arang aktif dapat ditambahkan ke dalam media pada berbagai tahap perkembangan kultur. Bahan ini dapat ditambahkan pada media inisiasi, media regenerasi, atau media perakaran.

Penambahan arang aktif dapat membantu pertumbuhan perkembangan kultur, tergantung dari jenis kulturnya. Secara umum, pengaruh arang aktif adalah sebagai berikut:
1. Mengadsorpsi persenyawaan-persenyawaan toxic yang terdapat dalam media yang dapat menghambat pertumbuhan kultur, seperti :
a. Persenyawaan-persenyawaan fenolik dari jaringan yang terluka waktu inisiasi.
b. Persenyawaan 5-hidroksimetil furfural yang diduga terbentuk dari gula yang berada dalam larutan asam lemah dan mengalami pemanasan dengan tekanan tinggi (Nitsch et al, 1968 dalam Gunawan 1988).
2. Mengadsorpsi zat pengatur tumbuh sehingga:
a. Mencegah pertumbuhan kalus yang tidak diinginkan, seperti dalam androgenesis dan pucuk yang ingin diakarkan.
b. Membantu embryogenesis kultur dalam media regenerasi tanpa auksin, mungkin dengan bertindak sebagai sink yang menarik auksin dari dalam sel sehingga embryogenesis dapat terjadi (Drew, (1979 dalam George & Sherringtone, 1984).
3. Merangsang perakaran dengan mengurangi tingkat cahaya yang sampai ke bagian eksplan yang terdapat dalam media.
Arang aktif ditambahkan dengan konsentrasi yang bervariasi yakni 0.5-6 %, tergantung dari tujuan. Dalam media yang ditambahkan arang aktif, harus diusahakan agar arang aktif terbagi rata dalam media. Sesudah sterilisasi dalam autoklaf botol media harus sering dikocok sampai agar mulai membeku. Bila tidak diadakan pengocokan, maka hampir semua arang aktif berada di lapisan bawah media.

pH Media

Faktor penting lain adalah pH yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor :
1. Kelarutan dari garam-garam penyusun media
2. Pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain
3. Efisiensi pembekuan agar.

Sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5.5-5.8 (Gamborg dan Shyluk, 1981). Tanaman Ericaceae seperti Rhododendron pengaturan pH, biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH (atau kadang-kadang KOH) atau HCl pada waktu semua komponen sudah dicampur, beberapa saat sebelum disterilkan dengan autoklaf. Sekalipun media sudah ditetapkan, seringkali setelah sterilisasi pH-nya berubah. Pada umumnya terdapat penurunan pH setelah distrerilkan dalam autoklaf. Untuk mencapai pH sekitar 5.7-5.9, Nann dkk. (dalam George dan Sherrington, 1984) membuat pH 7.0 dalam media yang belum disterilkan.

Untuk menghindarkan perubahan pH yang cukup besar. Murashige dan Skoog menyarankan agar dilakukan pemanasan untuk melarutkan agar-agar dan memanaskan media didalam autoklaf selama beberapa menit, baru diadakan penetapan media disterilkan dalam autoklaf. Dalam wadah yang besar, media disterlkan dan kemudian dititrasi dengan NaOH/HCl steril sampai pH yang diinginkan. Setelah itu media dituang ke dalam wadah kultur steril yang telah dipersiapkan di dalam laminar air flow cabinet.

Buffer (chelating agent)

Penambahan asam amino seringkali juga bersifat sebagai buffer organik. Penambahan KH2PO4 sendiri tidak efektif sebagai buffer. Banyak peneliti terdahulu seperti Tausson dan Kordan (George & Sherringtone, 1984) menyarankan untuk menambahkan Fe SO4 dan Na-EDTA dalam media untuk bertindak sebagai buffer.

Baca Selengkapnya...

Peran Senyawa Organik Kompleks


Disamping golongan persenyawaan organik yang konstitusinya jelas, kadang-kadang dalam media kultur jaringan, juga ditambahkan persenyawaan yang kompleks yang dimaksud adalah: air kelapa, casein hydrolysate, ekstrak ragi, juice tomat, ekstrak kentang dan ekstrak pisang.
Air kelapa. Penggunaan air kelapa pertama kali dilaporkan oleh van Overbeek (1941 dalam Gunawan 1988) dalam kultur embrio Datura stramonium. Pada tahun-tahun berikutnya (1942 dalam Gunawan 1988). Gautheret menemukan bahwa air kelapa dapat digunakan untuk mempertahankan pertumbuhan jaringan yang diisolasi dari sumber yang berlainan. Pada tahun 1948, Caplin & Steward memperoleh pertumbuhan kalus yang lebih baik pada media dengan 5 % air kelapa dan casein hydrolysate dari pada media dengan IAA.
Penelitian yang lebih mendalam, menemukan bahwa efek air kelapa pada pertumbuhan menjadi lebih baik, bila dalam media juga diberikan auksin. Auksin tertentu dan air kelapa, dapat bersifat sinergis. Steward dan Caplin (1951 dalam Gunawan 1988) mendapatkan bahwa antara 2,4-D dan air kelapa terjadi reaksi sinergistik yang memacu pertumbuhan kalus Daucus carota.

Gambar 7. Kelapa ‘Genjah’ hijau, air kelapa yang digunakan untuk tambahan media kultur yang bagus berasal dari kelapa muda yang berwana hijau.

Namun tidak semua auksin dan air kelapa mempunyai kerja sama yang sinergis. Lin & Staba (1961 dalam Gunawan 1988) menemukan bahwa pada pertumbuhan kalus peppermint dan spearmint, penambahan air kelapa dalam media yang mengandung 2,4-D meningkatkan pertumbuhan kalus, sedangkan dengan 2-benzothiazoleoxyacetic acid, tidak.
a.

Casein hydrolysate. Dalam media yang tidak mengandung ion ammonium, penambahan asam amino dapat memperbaiki pertumbuhan dan morfogenesis. sumber asam amino campuran yang relative murah adalah casein hydrolysat dan ekstrak ragi. Dalam kultur jagung, Green et al (1974 dalam Gunawan 1988) menemukan bahwa penambahan ekstrak ragi 800 mg/l atau casein hydrolysate 200 mg/l memperbaiki pertumbuhan kalus, walaupun dalam media sudah ada ion ammonium seperti media Linsmaier & Skoog.
Penambahan casein hydrolysate dalam media regenerasi padi, meningkatkan jumlah pucuk yang terbentuk dalam kalus padi. Dalam kasus padi ini, penambahan asam amino yang sama dengan sam amino dalam casein hydrolysate tidak menghasilkan pengaruh yang sama. Hal ini disebabkan ada persenyawaan lain yang penting dalam casein hydrolysate. Casein hydrolysate yang diberikan pada konsentrasi 200-300 mg/l (Inoue & Maeda, 1982 dalam George & Sherringtone, 1984).
Ekstrak ragi. Penggunaan bahan organik ini pada kultur jaringan dalam percobaan-percobaan awal seperti pertumbuhan akar. Ekstrak ragi juga menyumbangkan asam amino, peptida, vitamin, untuk pertumbuhan kultur. Konsentrasi yang digunakan dalam kultur berkisar antara 0.5 gram/l sampai 2 gram/l.
Juice tomat dan ekstrak pisang, banyak digunakan untuk kultur embrio anggrek. Dalam perkembangan komposisi media, penambahan bahan-bahan yang underfined ini dihindarkan, karena bahan-bahan organic ini dapat berbeda bila varietas tanaman berbeda. Lingkungan tumbuh, nutrisi tanaman, dan sebagainya, mempengaruhi kandungan persenyawaan-persenyawaan tersebut. Hasil yang diperoleh di suatu saat, kadang-kadang tidak dapat diulangi lagi (unreproducable).
Juice orange yang ditambahkan ke dalam media kultur, ternyata dapat memacu pertumbuhan eksplan dengan pesat pada beberapa jenis Citrus
Ekstrak kentang digunakan dalam kultur anther padi. Penambahan ekstrak kentang kedalam media, dengan nyata meningkatkan pertumbuhan kalus dan regenerasi anther beberapa jenis padi (Zhou et al, (1966 dalam Gunawan 1988). Ekstrak kentang biasanya digunakan setara 10-30 % dengan hasil terbaik 20 %. Tetapi tidak dijelaskan tentang kentang yang dipergunakan. Juice tomat, ekstrak pisang, dan ekstrak kentang. Bahan-bahan ini pada umumnya merupakan sumber gula, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan asam amino.

ZAT PENGATUR TUMBUH
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organic komplek alami yang disintesis oleh tanaman tingkat tinggi, yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dalam kultur jaringan, ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Level zat pengatur tumbuh endogen ini kemudian merupakan trigerring factor untuk proses-proses yang tumbuh dan morfogenesis. Selain auksin dan sitokinin, gliberelin dan persenyawaan-persenyawaan lain juga ditambahkan dalam kasus-kasus tertentu.
Auksin. Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang kalus, suspensi sel dan organ.
Pemilihan jenis auksin dan konsentrasi, tergantung dari :
1. Tipe pertumbuhan yang dikehendaki.
2. Level auksin endogen.
3. Kemampuan jaringan mensintesa auksin.
4. Golongan zat tumbuh lain yang ditambahkan.

Auksin alamiah adalah Indola Acetic Acid (IAA), Level auksin dalam eksplan, tergantung dari bagian tanaman yang diambil dan jenis tanamannya. Selain itu juga dipengaruhi oleh musim dan umur tanamannya. Dalam kultur in vitro ada sel-sel yang dapat tumbuh dan berkembang tanpa auksin seperti sel-sel tumor. Sel-Sel ini disebut sel-sel yang habituated.
Pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan tanaman diduga melalui dua cara :
2. Menginduksi sekresi ion H+ keluar sel melalui dinding sel. Pengasaman dinding sel menyebabkan K+ diambil dan pengambilan ini mengurangi potensial air dalam sel. Akibatnya air masuk ke dalam sel dan sel membesar.
3. Mempengaruhi metabolisme RNA yang berarti metabolisme protein, mungkin melalui transkripsi molekul RNA. Auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan tanaman tercantum di dalam tabel di bawah.
4. Memacu terjadinya dominansi apikal.
5. Dalam jumlah sedikit memacu pertumbuhan akar.

Sitokinin. Golongan sitokinin adalah turunan dari adenine. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Seperti juga auksin, sitokinin ada yang alamiah dan sintetis. Sitokinin yang pertama ditemukan, adalah kinetin yang diisolasi oleh. Skoog dalam laboratorium Botany di University of Wisconsin. Kinetin diperoleh dari DNA ikan Herring yang diautoklaf dalam larutan yang asam. Persenyawaan dari DNA tersebut sewaktu ditambahkan ke dalam media untuk tembakau, ternyata merangsang pembelahan sel dan differensiasi sel. Persenyawaan tersebut kemudian dinamakan kinetin. Fungsi sitokinin terhadap tanaman antara lain adalah:
Memacu terbentuknya organogenesis dan morfogenesis.
Memacu terjadinya pembelahan sel.
Kombinasi antara auxin dan sitokinin akan memacu pertumbuhan kalus.

Baca Selengkapnya...

Macam-Macam Media Kultur Jaringan

Macam-macam Formulasi Media Kultur

Formulasi media kultur jaringan pertama kali dibuat berdasarkan komposisi larutan yang digunakan untuk hidroponik, khususnya komposisi unsur-unsur makronya. Unsur-unsur hara diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik. Koposisis media dan perkembangan formulasinya didasarkan pada jenis jaringan, organ dan tanaman yang digunakan serta pendekatan dari masing-masing peneliti. Beberapa jenis sensitif terhadap konsentrasi senyawa makro tinggi atau membutuhkan zat pengatur tertentu untuk pertumbuhannya. Pada periode tahun 1930an, formulasi media terutama ditujukan untuk menumbuhkan akar, tuber dan kambium. Media untuk penumbuhan akar yang dikembangkan oleh White (1934 dalam Gunawan 1988), pertama White menggunakan media yang berisi garam anorganik, yeast ekstrak dan sucrose, tetapi kemudian yeast ekstrak digantikan dengan 3 macam vitamin B, yaitu pyridoxine, thiamine dan nicotinic acid (Chawla, 2002).

Kultur kalus biasanya ditumbuhkan pada media dengan konsentrasi garam-garam yang rendah seperti dalam kultur akar. Nobecourt (1937) dalam George & Sherrington, 1984), menggunakan setengah konsentrasi dari larutan Knop yang biasa digunakan untuk hidroponik, digunakan juga untuk menumbuhkan kalus wortel. Pada media Knop sumber karbon berupa glucosa dan dan vitamin berupa cysteine hydrochloride. Media White juga dikembangkan oleh Hildebrant dkk (1946 dalam Gunawan 1988), dengan memodifikasi unsur-unsur makro yang lebih tinggi dibandingkan pada media kultur tembakau, media ini media ini digunakan mengkulturkan jaringan tumor tembakau dan bunga matahari. Konsentrasi untuk NO3- K + lebih tinggi dibandingkan pada media White, namun konsentrasi tersebut masih lebih rendah dibandingkan media yang lain yang banyak digunakan pada kultur jaringan sekarang, sedangkan kandungan unsur P, Ca, Mg dan S pada media tumor matahari, sama dengan media untuk jaringan tanaman pada umumnya seperti pada media yang dikembangkan sekarang. Perbaikkan formulasi media yang penting adalah pengembangan unsur makro yang universal, untuk mendukung pertumbuahan jaringan tumbuhan. Dalam media perlu ditambahkan ammonium dengan meningkatkan konsentrasi NO3- dan K +.

Media Knop dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus, biasanya ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garam-garam yang rendah seperti dalam kultur akar dengan penambahan suplemen seperti glucosa, gelatine, thiamine, cysteine-HCl dan IAA (Dodds and Roberts, 1983).

Media White dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan tumor bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan kultur tersebut, lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan S pada media untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan normal yang dikembangkan kemudian. Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang umum digunakan sekarang.

Media Knudson dan media Vacin and Went, media ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman yang ditanam di kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya mengandung N dari Nitrat. Knudson pada tahun 1922, menemukan penambahan 7.6 mM NH4+ disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan pertumbuhan biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm.
Media Nitsch & Nitsch, menggunakan NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi untuk mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan ammonium khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan jaringan yang menurun. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH4+ sangat menunjang pertumbuhan kalus tembakau (Miller et al, (1956 dalam Gunawan 1988).

Pertumbuhan sel dari jaringan suatu organ dibandingkan dengan jaringan tumor tanaman Venca rosea (Catharanthus roseus), menunjukkan bahwa penambahan ammonium ke dalam media White yang sudah dimodifikasi, mempunyai pertumbuhan yang lebih baik. Konsentrasi NO3-, NH4-, K+ dan H2PO4- yang diperoleh, hampir sama dengan yang dikembangkan oleh Miller (Wood & Braun (1961 dalam Gunawan 1988).

Media Murashige & Skoog (media MS) merupakan perbaikan komposisi media Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik yang mendukung pertumbuhan optimum pada kultur jaringan tembakau. Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit. Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain. Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS, sehingga dikembangkan media-media lain berdasarkan media MS tersebut, antara lain media :
1. Lin & Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur makro MS, dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa makro dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian embryogenesis kultur jaringan wortel dan juga digunakan oleh Bourgin & Nitsch (1967 dalam Gunawan 1988) serta Nitsch & Nitsch (1969 dalam Gunawan 1988) dalam penelitian kultur anther.
2. Modifikasi media MS yang lain dibuat oleh Durzan et alI (1973 dalam Gunawan 1988) untuk kultur suspensi sel white spruce dengan cara mengurangi konsentrasi K+ dan NO3-, dan menambah konsentrasi Ca2+ nya.
3. Chaturvedi et al (1978) mengubah media MS dengan menurunkan konsentrasi NO3-, K+, Ca2+, Mg2+ dan SO4-2 untuk keperluan kultur pucuk Bougainvillea glabra.

Senyawa-senyawa di dalam media MS dapat terjadi pengendapan persenyawaan, ini terlihat jelas pada media cair. Kebanyakan dari persenyawaan yang mengendap adalah fosfat dan besi, kemudian dalam jumlah yang lebih sedikit adalah Ca, K, N, Zn dan Mn. Senyawa paling sedikit adalah senyawa yang mengandung unsur C, Mg, H, Si, Mo, S, Ca dan Co. Setelah tujuh hari dibiarkan, maka kira-kira 50% dari Fe dan 13% dari PO4+, mengendap (Dalton et al, 1983). Pengendapan unsur-unsur tersebut mungkin tidak penting, karena unsur-unsur tersebut masih tersedia bagi jaringan tanaman dan pengaruh pengendapannya belum diketahui. Untuk mengatasi pengendapan Fe, Dalton dan grupnya menganjurkan supaya konsentrasi Fe dikurangi sampai 1/3 dengan EDTA yang tetap.

Media Gamborg B5 (media B5) pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.. Pada masa ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain. Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, media ini menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat pertumbuhan sel kedelai. Fosfat yang diberikan setelah 1 mM, Ca2+ antara 1-4 mM, sedangkan Mg2+ antara 0.5-3 mM (Gamborg et al, 1968).

Media Schenk & Hildebrant (media SH) merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman monokotil dan dikotil (Trigiano & Gray, 2000). Konsentrasi ion-ion dalam komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi pada media Gamborg dengan perbedaan kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi. Schenk & Hildebrant mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh dengan sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis tanaman tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas penggunaannya, terutama untuk tanaman legume.

Media WPM (Woody Plant Medium) yang dikembangkan oleh Lioyd & Mc Coen pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah dari media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan pohon-pohon.
Pada umumnya media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Resep media dasar adalah resep kombinasi zat yang mengandung hara esensial (makro dan mikro), sumber energi dan vitamin. Dalam teknik kultur jaringan dikenal puluhan macam media dasar. Penamaan resep media dasar pada umumnya diambil dari nama penemunya atau peneliti yang menggunakan pertama kali dalam kultur khusus dan memperoleh suatu hasil yang penting artinya.
Beberapa media dasar yang banyak digunakan antara lain:
1. Media dasar Murhasige dan skoog (1962) yang dapat digunakan untuk hampir semua jenis kultur, terutama pada tanaman herbaceous.
2. Media dasar B5 untuk kultur sel kedelai, alfafa, dan legume lain.
3. Media dasar White (1934) yang sangat cocok untuk kultur akar tanaman tomat.
4. Media dasar Vacin dan Went yang biasa digunakan untuk kultur jaringan anggrek.
5. Media dasar Nitsch dan Nitsch yang biasa digunakan dalam kultur tepung sari (pollen) dan kultur sel.
6. Media dasar schenk dan Hildebrandt (1972) atau media SH yang cocok untuk kultur jaringan tanaman-tanaman monokotil.
7. Medium khusus tanaman berkayu atau Woody Plant Medium (WPM)
8. Media N6 untuk serealia terutama padi.

Dari sekian banyak media dasar yang paling sering dan banyak digunakan adalah komposisi media dari Murashige dan Skoog. Kadang-kadang untuk kultur tertentu, kombinasi zat kimia dari murashige dan Skoog masih tetap digunakan tetapi konsentrasinya yang diubah. Sebagai contoh media ½ MS, berarti konsentrasi persenyawaan yang digunakan adalah setengah konsentrasi media MS. Tabel 2. memperlihatkan sususnan persenyawaan dalam beberapa komposisi media dasar.

Baca Selengkapnya...

Media Kultur Jaringan Tanaman


Perkembangan yang sangat pesat tentang media nutrisi untuk pertumbuhan sel tanaman dimulai sejak tahun 1960-an dan 1970-an. Nutrisi dasar untuk kultur sel tanaman pada dasarnya mirip dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman itu sendiri. Namun, variasi komposisi nutrisi tergantung pada sel-sel, jaringan-jaring, organ-organ dan protoplasma serta jenis tanaman yang akan dikulturkan. Sebelum pembuatan nutrisi media, satu hal yang sangat penting untuk diketahui terlebih dahulu adalah mengetahui tipe kultur yang mana yang akan digunakan, misalnya: kalus, sel, organ atau protoplas yang akan diteliti serta tujuan akhir dari penelitian tersebut. Tipe kultur yang berbeda akan mempunyai satu atau lebih komposisi media yang unik.
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur hara makro dan mikro, tetapi sumber karbohidrat yang pada umumnya berupa gula menggantikan karbon yang biasanya dihasilkan dari atmosfer melalui melalui proses fotosintesis.
Hasil yang lebih baik dapat dijangkau/ diperoleh, bila ke dalam media tersebut ditambahkan vitamin-vitamin, asam amino solid dan zat pengatur tubuh. Walaupun sudah diusahakan untuk menghindarkan penggunaan komponen-komponen yang tidak jelas (komponennya) seperti juice buah-buahan dan tauge, air kelapa, yeast exstracts dan casein hydrolysate, tetapi kadang-kadang kita bisa memperoleh hasil yang lebih tinggi dengan penambahan tersebut. Sebagai contoh, air kelapa masih sering digunakan di laboratorium-laboratorium penelitian, sedangkan pisang masih merupakan komponen tambahan yang sangat popular pada media anggrek.


Fasilitas dan Peralatan Yang Digunakan Dalam
Pembuatan Media

Peralatan yang digunakan untuk pembuatan media antara lain, adalah:
Autoklaf atau dandang presto.
Timbangan analitik digital.
Kertas tissue, aluminium foil, plastik wrap, kertas wrap, label.
Peralatan gelas untuk kultur jaringan tanaman, antara lain: botol kultur, gelas piala, erlenmeyer, cawan petri, gelas arloji, gelas pengaduk, gelas ukur, labu ukur, pipet dan lain-lain.
Desikator.
Unit filter disponsible.
Kulkas dan freezer.
Magnetik stirrer yang dilengkapi dengan hot plate.
Microwave, oven atau kompor gas.
Trolley atau rak dorong,
pH meter atau pH stick.
Vortek.
Sumber air (Air sumur atau PDAM) dan sumber arus listrik.
Water bath yang dilengkapi pengontrol temperatur.


Persiapan Membuat Larutan Dalam Satuan (Unit)

Konsentrasi dari satu substrat tertentu dalam media dapat digambarkan dalam variasi satuan (unit) adalah sebagai berikut ini:
Satuan Berat digambarkan sebagai milligram per liter (mg/l atau dapat ditulis sebagai mgL-1.
10-6 = 1,0 mg/l atau 1 part per million (ppm) atau seper juta bagian.
10-7 = 0,1 mg/l
10-9 = 0,001 mg/l atau µg/l

Satuan Konsentrasi.
Satu molar larutan (M) suatu senyawa sama dengan massa molekul dalam gram per liter.
1 molar (M) = massa molekul dalam g/l.
1 mM = massa molekul dalam mg/l atau 10-3 M.
1 µM = massa molekul dalam µg/l atau 10-6 M atau 10-3 mM.

Konversi dari mili molar (mM) ke mg/l.
Sebagai contoh, massa molekul auxin : 2,4 D = 221,0.
1 M larutan 2,4 D berisi 221,0 g/l.
1 mM larutan 2,4 D berisi 0,221 g/l = 221,0 mg/l
1 µM larutan 2,4 D berisi 0,000221 g/l = 0,221 mg/l

Konversi dari mg/l ke mili molar (mM)
Massa molekul CaCl2. 2H2O = 40.08 + 2 x 35..453 + 4 x 1.008 + 2 x 16 = 147.018
Massa atom: Ca = 40.08 ; Cl = 35..453 ; H = 1.008; O = 16
Jika 440 mg/l CaCl2. 2H2O akan di konversikan ke nM, maka:

Jumlah mg dari CaCl2. 2H2O
Jumlah mM CaCl2. 2H2O =
Massa molekul dari CaCl2. 2H2O

440
=
147.018

= 2.99 mM

Jadi 440 mg/l CaCl2. 2H2O = 2.99 mM.


Komposisi Media
Unsur hara di dalam media kultur tersusun atas beberapa komponen, sebagai berikut :
1. Hara makro yang digunakan pada semua formulasi media kultur.
2. Hara mikro selalu digunakan. Ada beberapa komposisi media yang hanya menggunakan besi atau besi-kelat.
3. Vitamin-vitamin dan asam-asam amino serta N organik, umumnya ditambahkan dalam jumlah yang bervariasi.
4. Sumber energi dan karbon berupa gula, merupakan keharusan, kecuali untuk tujuan yang sangat khusus.
5. Persenyawaan-persenyawaan organik kompleks alamiah seperti: air kelapa, ekstrak ragi (yeast extract), juice pisang hijau, tauge, nanas, kentang dan sebagainya.
6. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT): ada beberapa jenis, antara lain: auxin, sitokinin, geberelin, asam absisat, etilin dan sebagainya. ZPT merupakan komponen penting dalam media kultur jaringan. Jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan sangat tergantung pada jenis taman dan tujuan dari kultur tersebut.
7. Buffer (chelating agent).
8. Bahan Pemadat. Bahan ini digunakan untuk membuat media padat, yang biasa digunakan adalah agar.
9. Arang aktif, berfungsi untuk menyerap senyawa toxic yang dihasilkan oleh eksplan sebagai anti oxidan juga sering digunakan untuk memacu pertumbuhan akar.

Baca Selengkapnya...
Get paid To Promote at any Location Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly. target="_blank> Software Iklan Baris Massal Web Hosting Bisnis di Internet

  © Blogger Templates Columnus by Abang Leston 2008

Back to TOP